Wikipedia

Hasil penelusuran

Sentanan Karangsemi Nganjuk

Daftar Blog Saya

Label

Selasa, 24 Maret 2015

Kita dan Mereka


Segala puji hanya milik Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah tercinta, Muhammad bin Abdullah, segenap keluarga, para sahabat dan umatnya yang setia.


Terkadang, banyak manusia tidak mengerti tujuan mereka diciptakan, mereka terlena tapi tidak mengerti dirinya terlena, atau mereka jahil tapi tidak menyadari bahwa diri mereka jahil, karena barangkali sudah banyak manusia yang terkena fitnah syubhat (fitnah samar memahami Al-Islam) dan fitnah syahwat (fitnah hawa nafsu) kecenderungan yang besar kepada dunia. Sebutlah acara-acara hiburan di TV, iklan gaya hidup, phone music, portable music player, penggiringan opini melalui berita, ini semua berperan besar untuk melenakan manusia dari mempersiapkan bekal ke akherat nanti.

Yang paling menyedihkan lagi adalah para penyeru (da’i) Islam. Mereka mengaku penerus dakwah para Nabi dan Rasul tapi tidak memahami hakikat dakwah para Nabi dan Rasul. Mereka menyeru kepada selain Allah, mengajak manusia beribadah dan taat kepada selain Allah. Mereka menjadikan diri mereka hamba – hamba Thaghut, mengajak manusia untuk tunduk dan taat dibawah hukum – hukumnya yang bertentangan dengan Syari’at Allah. Bertolak belakang dengan firman Allah yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap – tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” Mereka entah sadar atau tidak, seolah menyerukan bahwa Islam adalah agama individu, yang isinya sekedar ritual-ritual saja.

Aqidah Kita (Muslim) VS Khawarij
Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana.

Di antara kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri.

Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh.

Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Tidak cukup sampai di situ, mereka akan berupaya langsung membunuh orang yang dianggap murtad bila ada kesempatan.

Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat imam atau khalifah.[2] Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan kita, antara lain:

Pertama, dalam masalah iman dan kufur, kita berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, kita tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.   

Kedua, kita juga berkeyakinan bahwa orang yang mengkafirkan SAHABAT, apalagi yang DIJAMIN masuk surga, adalah orang kafir yang sebenar – benarnya (yaitu orang – orang Khawarij). Kita menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya. Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.

Ketiga, kita juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya. (Mereka ber-tahkim kepada mushaf Al-Quran)

Keempat, kita juga berkeyakinan bahwa secara umum umat Islam di negeri mana pun di dunia saat ini masih memeluk akidah Islam, betapa pun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, kita tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan. Karena itu, kita tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim hanya berdasarkan prasangka atau dugaan, sehingga boleh dibunuh begitu saja. Bahkan, tumpahnya darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam : 

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.

Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi). 
Pengecualiannya adalah :
Dari Masruq dari Abdillah ra berakta bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam  bersabda, "Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah."(HR Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, An-Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimy)

Dan yang menentukan apakah ada pengecualian atau tidak, hal ini diputuskan oleh mahkamah syariah dalam konteks sistem khilafah (sekarang belum ada yang diakui secara luas). Jadi bukan vonis dari suatu individu kepada individu lain, atau kelompok kepada individu atau kelompok kepada kelompok.

Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah, jelas kita sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut.

Kemudian misalnya apakah tindakan kita menasihati pemimpin suatu kaum dan mengkritik kebijakan mereka secara tersembunyi ataupun terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para Khalifah (pemimpin seluruh muslim) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, kita menasihati penguasa suatu kaum dan mengkritik kebijakan mereka secara tersembunyi atau pun terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.

Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, kita, sebagai muslim, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para pendakwah dan orang – orang yang berjuang demi kemuliaan Islam banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa (realitas global), kita tetap hanya menjalankan aktivitas syiar dan dakwah; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mata karena kita berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.  

Berikut ini adalah contoh sikap pendahulu kita (salah seorang sahabat, yaitu Ibnu Abbas) terhadap kaum yang menamakan dirinya Khawarij.

Dialog Abdullah bin Abbas dengan Khawarij

Ketika muncul kelompok Haruriyah (Khawarij) [3] Orang-orang selalu mendatangi Ali Radhiyallahu 'anhu dan berkata : Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum tersebut akan memberontak kepadamu. Lalu beliau menjawab : Biarkan mereka karena saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya dan mereka akan melakukannya. [4]

Pada suatu hari saya (Ibnu Abbas) mendatanginya sebelum shalat dzuhur dan aku berkata kepada Ali Radhiyallahu 'anhu : Wahai Amirul Mukminin akhirkan shalat agar saya dapat mengajak bicara mereka. Beliau berkata : Saya mengkhawatirkan mereka mencelakai kamu. Saya menjawab : Tidak akan, karena saya seorang yang berakhlak baik dan tidak pernah menyakiti seorangpun.

Lalu beliau mengizinkan saya, maka saya mengenakan pakaian yang paling bagus dari pakaian Yaman dan menyisir rambut saya kemudian aku menemui mereka di perkampungan mereka di tengah hari sedang mereka sedang makan, lalu saya menemui satu kaum yang saya tidak pernah menemukan kaum yang lebih bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dari mereka, dahi-dahi mereka hitam dari sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti kasarnya unta dan mereka mengenakan gamis-gamis yang murah dan tersingkap serta wajah-wajah mereka pucat menguning.

Lalu saya memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab : Selamat datang wahai Ibnu Abbas pakaian apa yang engkau pakai ini ?!

Saya menjawab : Apa yang kalian cela dariku ? Sungguh saya telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bagus sekali ketika mengenakan pakaian Yaman, kemudian membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambanNya dan (siapa pulakah yang menharamkan) rezki yang baik" [Al-A'raaf : 32]

Lalu mereka berkata : Apa maksud kedatangan engkau ?

Saya katakan pada mereka : Saya mendatangi kalian sebagai utusan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Muhajirin dan Anshar dan dari sepupu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menantunya sedangkan Al-Qur'an turun pada mereka sehingga mereka lebih mengetahui terhadap ta'wilnya dari kalian dan tidak ada di kalangan kalian seorangpun dari mereka ; sungguh saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang mereka sampaikan dan saya akan sampaikan kepada mereka apa yang kalian sampaikan.

Lalu berkata sekelompok dari mereka : Janganlah kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar" [Az-Zukhruf : 58]

Kemudian bangkit kepadaku sebagian dari mereka dan berkata dua atau tiga orang : Sungguh kami akan mengajak bicara dia. Saya berkata : Silahkan, apa dendam kalian terhadap para sahabat Rasulullah dan sepupunya ? mereka menjawab : Tiga.

Saya katakan : Apa itu ?

Mereka mengatakan : Yang pertama karena dia (Ali bin Abi Thalib) berhukum kepada orang dalam perkara Allah Subhanahu wa Ta'ala sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah..." [Al-An'am : 57]

Saya katakan : Ini satu.

Mereka berkata lagi : Yang kedua karena dia berperang dan tidak menawan dan merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka halal menawannya dan kalau mereka kaum mu'minin maka tidak boleh menawan mereka dan tidak pula memerangi mereka [5]

Saya katakan : Ini yang kedua dan apa yang ketiga ?

Mereka berkata : Dia menghapus gelar Amirul Mu'minin dari dirinya, maka jika dia bukan Amirul Mu'minin, dia Amirul Kafirin.

Saya katakan : Apakah masih ada pada kalian selain ini ?

Mereka menjawab : Ini sudah cukup

Saya katakan kepada mereka : Bagaimana pendapat kalian kalau saya bacakan kepada kalian bantahan atas pendapat kalian dari Kitabullah dan Sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah kalian mau kembali ?

Mereka menjawab : Ya.

Saya katakan : Adapun pendapat kalian bahwa dia (Ali) berhukum kepada orang (manusia) dalam perkara Allah maka saya bacakan kepada kalian ayat dalam kitabullah dimana Allah menjadikan hukumnya kepada manusia dalam menentukan harga 1/4 dirham, lalu Allah memerintahkan mereka untuk berhukum kepadanya. Apa pendapatmu tentang firman Allah :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu" [Al-Maa'idah : 95]

Dan hukum Allah diserahkan kepada orang (manusia) yang menghukum dalam perkara tersebut, dan kalau Allah kehendaki maka dia menghukumnya sendiri, kalau begitu tidak mengapa seseorang berhukum kepada manusia (manusia yang berhukum berdasar Al-Quran dan As-Sunnah), demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia dalam masalah perdamaian dan pencegahan pertumpahan darah lebih utama ataukah dalam perkara kelinci  ?

Mereka menjawab : Tentu hal itu lebih utama. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang seorang wanita dan suaminya.
"Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan" [An-Nisaa' : 35]
Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia (manusia yang berhukum berdasar Al-Quran dan As-Sunnah) dalam perdamaian dan mencegah pertumpahan darah lebih utama dari berhukum kepada manusia  dalam permasalahan wanita ?! Apakah saya telah menjawab hal itu ?

Mereka berkata : Ya

Saya katakan : Pendapat kalian : Yang kedua karena dia (Ali bin Abi Thalib) berperang dan tidak menawan dan merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka halal menawannya dan kalau mereka kaum mu'minin maka tidak boleh menawan mereka dan tidak pula memerangi mereka. ("Dia (Ali bin Abi Thalib) berperang akan tetapi tidak menawan dan merampas harta perang".) Apakah kalian ingin menawan ibu kalian Aisyah yang kalian menghalalkannya seperti kalian menghalalkan selainnya, sedangkan beliau adalah ibu kalian? Jika kalian menjawab : Kami menghalalkannya seperti kami menghalalkan selainnya, maka kalian telah kafir dan jika kalian menjawab : Dia bukan ibu kami maka kalian telah kafir, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya :Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka" [Al-Ahzab : 6]
Maka kalian berada di dua kesesatan, silakan beri jalan keluar ; Apakah saya telah menjawabnya ?

Mereka berkata : Ya.

Sedangkan masalah dia (Ali Radhiyallahu 'ahu) telah menghapus gelar Amirul Mukminin dari dirinya, maka saya akan datangkan kepada kalian apa yang membuat kalian ridha, yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perjanjanjian Hudaibiyah berdamai dengan kaum musyrikin, lalu berkata kepada Ali : Hapuslah wahai Ali (tulisan) Allahumma Inaaka Ta'alam Ani Rasulullah (wahai Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah) dan tulislah (kalimat) Hadza ma Shalaha Alaihi Muhammad bin Abdillah (ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdillah) Dan hadits ini memiliki derajat shahih dan hadits Bara' bin Aaziib dikeluarkan oleh Bukhari 5/303-304 (fath) dan Muslim 12/134-138 (Nawawi) dan shahih dari hadits Anas dikeluarkan oleh Muslim 12/138-139 (Nawawi). Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dari Ali dan beliau menghapus (gelar kerasulannya) dari dirinya dan tidaklah penghapusan tersebut berarti penghapusan kenabian dari dirinya. Apakah aku telah menjawabnya ?

Mereka berkata : Ya

Kemudian kembalilah dari mereka dua ribu orang dan sisanya memberontak dan berperang diatas kesesatan mereka lalu mereka diperangi oleh kaum Muhajirin dan Anshar. [6]

Disini Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu berargumentasi (berhujjah) dengan manhaj sahabat dalam menghadapi kaum Khawarij, karena Al-Qur'an turun kepada mereka, maka mereka adalah orang yang paling mengetahui tafsirnya dan mereka menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga menjadi orang yang paling mengikuti jalan beliau.

[1]  Lihat, Ibnu Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, juz VII, bab Akidah.
[2]  Lihat, Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal, juz IV, hal. 87; as-Syahrastani, Nihayat al-Iqdam, hal. 482; Ibnu Khaldun, Muqaddimah, juz II, hal. 133; al-Iji, al-Mawaqif, juz VIII, hal. 345; al-Amidi, Ghayat al-Maram, hal. 364; ar-Razi, al-Mahshal, hal. 181; dan as-Syaukani, Nail al-Authar, juz VIII, hal. 265.
[3] Nisbat kepada Harura' yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Kuffah, dia menjadi tempat pertama berkumpulnya kaum Khawarij yang menyelisihi Ali bin Abi Thalib, lalu dinisbatkan kepadanya. Lihat Mu'jam Al-Buldan 3/345 dan Allubaab fi Tahdzibil Ansaab 1/359 mereka memisahkan diri di suatu perkampungan, mereka berjumlah 6000 orang dan bersepakat untuk menyempal (memberontak) dari Ali Radhiyallahu anhu.
[4]. Sebagai pembenaran terhadap khabar Rasulullah tentang mereka
[5]. Demikianlah hukum terhadap kelompok pembangkang : wanita-wanita mereka tidak ditawan dan tidak dibagi-bagikan fa'inya, tidak dibunuh orang-orang yang luka dari mereka dan tidak dikejar orang-orang yang lari serta tidak dimulai memeranginya sebelum mereka melakukannya.
[6] Shahih, lihat takhrijnya dalam kitab : Munaadzaraatussalaf Ma'a Hizbi Iblis wa Afrokhil Kholaf, hal.95 penerbit Dar Ibnil Jauziy, Damam


Perbedaan antara Dosa & Kekufuran.
           
"Kita tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena dosa yang dilakukannya, meskipun itu termasuk dosa besar, selama ia tidak, dengan sengaja dan keras hati, menganggapnya suatu yang halal.
Dan kita tidak menghapus sebutan iman dari dirinya, dan kita tetap menamakannya sebagai seorang muslim, kendati boleh jadi ia seorang muslim yang fasik tapi bukan orang kafir [7]  Sedangkan yang kita kafirkan adalah orang yang melakukan syirik, baik syirik ibadatil autsan seperti syirkul qubur dan orang yang syirkulluhuq bil musyrikin seperti syirkul qushur wad dustur. Itu pun dengan syarat – syarat yang cukup banyak, misal telah melakukan tabayyun , ada saksi muslim, adil, tidak ada penghalang dst.
Coba kita simak pendapat Abu Hanifah (salah satu imam dari empat mazhab) sebagai berikut:

Dialog Imam Abu Hanifah dengan Khawarij

Perhatikan bahwa khawarij mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, di mana seharusnya dosa tersebut tidak menyebabkan kekafiran. Sedangkan kita mengkafirkan orang yang melakukan syirik akbar.

Dalam makna ini pula Imam Abu Hanifah menyebutkan dalam al-washiyah :
"Orang - orang yang durhaka (bermaksiat) dari umat Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam . semuanya adalah tetap orang - orang muslim juga dan bukan orang - orang kafir [8]

Ketika sekelompok orang Khawarij memasuki masjid & berkata kepada Abu Hanifah:

"Di depan pintu ada dua jenazah.  Salah satu dari keduanya adalah jenazah seorang laki - laki yang minum khamr & meninggal dunia dalam keadaan mabuk. Sedangkan jenazah kedua ialah jenazah seorang wanita hamil dari sebab perzinaan dan ia mati ketika melahirkan anaknya sebelum ia bertobat. Apakah keduanya itu termasuk orang - orang muslim atau kafir?"

Abu Hanifah lalu bertanya lagi, " Dari kelompok manakah mereka keduanya? Apakah mereka itu berasal dari kelompok kaum Yahudi?"

"Tidak", jawab mereka.

Abu Hanifah lalu bertanya lagi, " Dari kaum Nasrani?"

Mereka berkata : "Tidak"

Ia bertanya lagi : "Dari kaum Majusi?"

Mereka menjawab: "Tidak".

Ia berkata lagi :" Dari millah (agama) manakah kedua mereka itu?"

Mereka menjawab: "Dari millah yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah & bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

Lalu ia berkata lagi: "Jelaskanlah untukku kesaksian ini. Berapa bagiankah
ia dari iman. Adakah ia 1/3 nya, atau 1/4 nya atau 1/5 nya?"

Mereka berkata: "Keimanan tidak mungkin menjadi  1/3 , 1/4 atau 1/5".

Lalu ia bertanya lagi : "Kalau begitu berapa bagiankah ia dari iman?

Mereka menjawab: "seluruhnya".

Ia berkata :"Kalau begitu, mengapa kalian bertanya padaku tentang suatu kelompok yang kalian sendiri mengakui dan mengikrarkan bahwa mereka termasuk kaum muslim?

Kemudian setelah berlangsungnya tanya jawab dan mendengar jawaban terakhir Abu Hanifah itu mereka kemudian menyerah dan berkata kepadanya :"Kami berlepas diri dari segala kepercayaan agama yang telah kami percayai sebelum ini dan mulai kini kami mengabdi kepada Allah dengan cara agamamu [9]

Tempat Akhir Orang Muslim yang Berdosa

Dan kita tidak mengatakan bahwa seorang mukmin tidak akan terganggu oleh dosa - dosanya dan bahwa ia tidak akan masuk neraka. Tapi tidak pula bahwa ia akan abadi di dalamya, dan kita tidak mengatakan bahwa semua perbuatan baik kita pasti akan diterima atau semua kejahatan kita pasti diampuni seperti yang dikatakan oleh kaum Murjiah
Wallâhu a‘lam.

[7] Mulla Ali Aligari, hal 86, 89. Al-Maghnisawi hal 27-28.
[8] Mulla Husain, hal 6.
[9]Al-Makki Jilid 1 hal 124-125


Pelajaran dari Dialog Imam Abu Hanifah dengan Khawarij

Dari apa yang kita lihat dari dialog Imam Abu Hanifah kemarin, secara implisit bisa kita simpulkan bahwa dalam mengkafirkan seseorang perlu diperhatikan sebagai berikut:
- Orang - orang yang durhaka (bermaksiat) dari umat Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam . semuanya adalah tetap orang - orang muslim juga dan bukan orang - orang kafir, jadi tidak seperti anggapan kelompok yang menganggap bahwa orang yang berdosa, otomatis menjadi kafir, tanpa melakukan tabayyun, dan sembarangan dalam menjatuhkan vonis tanpa melalui mahkamah syariah (pengadilan) terlebih dahulu.
- Menurut Abu Hanifah, perbuatan kedua orang tersebut tidak memenuhi syarat perbuatan yang mengakibatkan kekafiran.
- Seseorang divonis kafir berdasar pada hal yang zhahir (yang nampak), ada pun terhadap keduanya sudah tidak bisa dilakukan tabayyun lagi. Padahal dalam menentukan seseorang kafir atau tidak, ada cara-cara pembuktian tertentu.
- Tidak sembarang orang layak memvonis orang lain adalah kafir.

Dalam tafsirnya, Al-Fakhru Ar-Raziy mengatakan : “Adapun orang – orang Khawarij, mereka menjadikan QS. Al-Maidah : 44 yang artinya, “Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang – orang kafir.”  Mereka mengatakan: Ayat ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa setiap orang yang memutuskan perkara dengan selain hukum yang diturunkan Allah maka dia kafir, dan setiap orang yang melakukan dosa (berarti) dia telah memutuskan perkara dengan selain hukum yang diturunkan Allah SWT, maka dia pasti kafir.” [10]

Adapun bantahan terhadap orang – orang Khawarij dalam menggunakan ayat ini sebagai hujjah  maka hendaknya melalui dua sisi,

Sisi pertama: Bahwa nash ini meskipun menggunakan shighah (ungkapan) yang bersifat umum, namun ayat ini khusus mengenai para hakim (penguasa) yang berkepentingan untuk memutuskan perkara di antara manusia dan menyelesaikan persengketaan (seperti penguasa, qadhi dan yang lain namun tidak menggunakan hukum Allah dan Rasul-Nya). Maka ayat ini bersifat umum dalam permasalahannya atau ia bersifat umum dalam permasalahan tertentu, yaitu masalah memutuskan perkara dan persengketaan. Dan apabila terdapat kata-kata (memutuskan perkara) —yang menjadi kewajiban manusia— di dalam Al-Qur'an dan Sunnah maka sesungguhnya tidak ada maksud lain kecuali memutuskan persengketaan atau maksudnya bukanlah seluruh perbuatan manusia. Karena sesungguhnya Allah SWT  berfirman:
"Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah.... "
Dan tidak berfirman:
"Dan barangsiapa tidak beramal dengan apa yang diturunkan Allah....
Ingat, juga bahwa Allah berfirman:
"Dan Rabb mu tidaklah lupa...." (QS. Maryam: 64)
Maka menggunakan kata  secara umum mencakup seluruh perbuatan manusia sehingga setiap orang yang berbuat dosa berarti dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah SWT ini merupakan penyelewengan makna kata-kata dari makna yang sebenarnya. Dan ini merupakan ciri-ciri Khawarij sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dalam hadits-hadits mutawatir bahwasanya beliau mengatakan bahwa mereka itu : “Mereka membaca Al-Quran tapi bacaan mereka tidak melebihi kerongkongan mereka.”
Artinya mereka mengulang-ulang membaca Al-Quran dengan kerongkongan mereka, tapi tidak melebihinya sampai hati yang mana hati itu merupakan tempat pemahaman. Maksudnya mereka tidak memahami maksud dari Al-Quran yang mereka baca.

Kesimpulannya bahwa firman Allah
"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”
Meskipun nash ini bersifat umum, namun ia khusus untuk masalah memutuskan perkara dan persengketaan di antara manusia, dan tidak mencakup seluruh perbuatan pribadi manusia sebagaimana yang difahami oleh Khawarij. Inilah sanggahan terhadap mereka dari sisi pertama.

Adapun sisi kedua adalah: Seandainya pendapat Khawarij itu benar yaitu bahwa: ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang tidak berbuat sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dia kafir, namun sesungguhnya tidak ada perselisihan dikalangan kaum muslimin bahwa al-'am (kata yang bersifat umum) itu dapat menerima takhi-shish (pengkhususan). Dan ada nash yang bersifat khusus (al­khash) yang menunjukkan bahwa beberapa pelaku kemaksiatan seperti orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr tidak kafir lantaran perbuatan mereka itu, dan mereka tidak dihukum seperti hukuman orang-orang murtad (dipenggal lehernya). Nash yang bersifat khusus ini lebih didahulukan dari pada nash-nash yang bersifat umum berdasarkan ijma', sehingga salahlah orang-orang Khawarij dalam menggunakan ayat tersebut sebagai dalil yang bersifat umum sebagaimana pendapat mereka.

Selanjutnya bacalah sebentar ini :
Bandingkan pemahaman kita dengan intisari pendapat – pendapat Khawarij
1. Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.

2. Adapun Usman, menurut pendapat mereka, telah menyimpang – pada akhir masa khilafahnya – dari keadilan dan kebenaran, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan. Dan bahwasanya Sayyidina Ali juga telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah. Dan bahwasanya kedua hakim penengah (yakni Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari), dan orang – orang yang telah menunjuk mereka sebagai hakim penengah (yakni Sayyidina Ali dan Mu’awiyah), dan orang – orang yang menyetujui pentahkiman mereka itu (yakni seluruh pengikut Ali dan Mu’awiyah), semua mereka orang – orang berdosa, dan bahwasanya semua orang yang ikut dalam Perang Unta, termasuk Thalhah, Zubair dan Aisyah Ummul Mukminin, telah melakukan dosa yang amat besar.

3. Dosa dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila mereka tidak bertobat; dan atas dasar inilah mereka secara terang – terangan mengkafirkan semua sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam . yang disebutkan namanya di atas, bahkan mereka tidak segan – segan mengumpat dan melaknat mereka.

4. Selain dari itu, mereka mengkafirkan kaum muslimin secara keseluruhan karena, pertama, mereka tidak suci dari dosa – dosa. Dan kedua, karena mereka tidak hanya menganggap para sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam  tadi sebagai orang mukmin saja, tapi bahkan telah menjadikan sebagai imam – imam mereka, serta menetapkan hukum – hukum syariat dengan hadits – hadits yang diriwayatkan dari orang – orang itu.

5. Mereka menerima Al-Quran sebgai salah satu sumber di antara sumber – sumber hukum Islam. Adapun tentang hadits dan ijma’ maka mereka memiliki cara yang berbeda dari cara kaum muslimin lainnya. Di antara mereka ada satu kelompok besar bernama an-Njadat yang berpendapat bahwa tegaknya khilafah adalah sesuatu yang tidak merupakan kewajiban secara mutlak. Kaum muslimin, secara kolektif, seyogyanya dapat bekerja demi kebenaran, tapi boleh juga mereka itu memilih seorang khalifah apabila dianggap perlu.

6. Adapun kaum Azariqah, yakni kelompok terbesar kaum Khawarij, mereka beranggapan bahwa seluruh kaum muslimin, selain mereka, adalah kaum musyrikin. Oleh sebab itu, orang – orang dari kalangan mereka, yakni kaum Khawarij, tidak diperbolehkan pergi mengerjakan shalat di suatu tempat jika yang menyerukan adzan di sana bukan dari kalangan mereka sendiri. Semua sembelihan yang dilakukan oleh orang lain, menurut mereka, tidak halal; dan mereka tidak dibolehkan mengawini seseorang yang tidak termasuk kelompok mereka, dan tidak ada juga saling waris-mewarisi antara mereka dan orang – orang selain mereka. Mereka beranggapan bahwa jihad melawan kaum muslimin lainnya merupakan kewajiban fardhu ‘ain, dan halal membunuh wanita dan anak – anak serta merampok harta benda mereka (yakni kaum muslimin selain kaum Khawarij). Bahkan mereka itu mengkafirkan pengikut – pengikut mereka sendiri yang tidak ikut berjuang dalam Jihad ini, dan mereka juga menghalalkan penghianatan terhadap para lawan mereka.
Demikian pula ekstremitas mereka itu telah mencapai puncaknya, sehingga orang yang bukan muslim memiliki hak keamanan atas dirinya lebih besar dari seseorang yang mengaku sebagai muslim!

7. Kaum Khawarij yang paling moderat adalah kaum Ibadhiyah yang mengkafirkan seluruh kaum muslimin tapi tidak menyatakan mereka sebagai kaum musyrikin. Menurut pandangan mereka, orang – orang muslim selain mereka adalah “bukan mukmin” tapi diterima syahadat mereka, boleh kawin dan dikawinkan dengan mereka, mewarisi dan mewariskan pula. Negeri mereka disebut sebagai “Negeri Tauhid”, bukan “Negeri Kufur” atau “Negeri Perang” (Daarul-Harb). Di sisi lainnya, pecahan kelompok kaum Khawarij Ibahiyah ini ada yang ekstrem dalam mengagumi, bahkan memuja, Yazid bin Mu’awiyah karena ia telah membunuh Husain bin Ali ra (cucu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam ) dan oleh sebab itu mereka menjadikan hari Asyura, tiap tanggal 10 Muharram, sebagai hari raya dan hari bergembira, semata – mata demi mengimbangi kaum Syi’ah yang menjadikan hari itu sebagai hari berkabung. [11] Sudah barang tentu dalam hal ini mereka mengecualikan pusat – pusat pemerintahan. Dan mereka juga mengharamkan penyerbuan terhadap kaum muslim secara rahasia, tetapi menghalalkan penyerbuan terhadap mereka secara terang – terangan. [12]

Demikian kiranya apa yang bisa saya sampaikan tentang “Kita dan Khawarij”, semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita. Apabila yang saya sampaikan benar itu datangnya dari Allah SWT, dan apabila ada kesalahan itu datangnya dari setan dan saya pribadi, sehingga sudilah kiranya para pembaca yang budiman memaafkan atas kekurangan dan kesalahan saya. Wallahu a’lam.

 [10] Untuk perincian selanjutnya, lihatlah Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Al-Jami’ fi Thalabil ‘Ilmisy Syarif : XIII / 109 - 167
[11] (Dr. Ahmad Muhammad Subhi, Nadzariyyatul-Imamah, halaman 338, Darel-Ma’aref, Mesir, 1969)
[12] Untuk perincian selanjutnya, lihatlah Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bainal-Firaq, halaman 55, 61, 63, 64, 67, 68, 82, 83 , 99, 313, 314, 315; Syahrastani, jilid 1, halaman 87, 90, 91, 92, 100; Asy ‘ari, jilid 1, halaman 156, 157, 159, 189, 190; Al-Mas’udi, jilid 2, halaman 191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar